"Redenominasi? Tahu, sih, cuma itu apaan,  ya, maksudnya?" tanya Iin bingung. Pemilik warung mie rebus instan ini  mengaku, sebenarnya dirinya sudah pernah mendengar istilah tersebut dari  televisi. Cuma, dia belum mengerti makna dan konsekuensi dari kebijakan  tersebut.
Pertanyaan Iin  bisa mewakili sikap kebanyakan masyarakat yang masih bingung dengan  redenominasi. Sebagian lain, meski sudah mengerti makna, tetap bingung,  atau lebih tepatnya khawatir dengan konsekuensi dari redenominasi. Lalu,  apa sih redenominasi itu?
Redenominasi  rupiah berarti menyederhanakan nominal mata uang kita. Rencana  pemerintah dan Bank Indonesia (BI) adalah dengan mengurangi tiga angka  nol (0) yang ada di uang rupiah. Jadi, uang kertas yang berdenominasi  atau punya nilai nominal Rp 1.000, misalnya, menjadi Rp 1.
Sampai sini,  masyarakat tidak perlu panik. Sebab, yang diganti hanya nilai nominal  yang tertera di kertasnya. Namun, nilainya tidak berubah. "Redenominasi  bukan sanering," ujar Darmin Nasution, Gubernur BI, saat konsultasi  publik, 23 Januari 2013 lalu.
Pertanyaannya,  tentu saja, kenapa kalau nilainya tidak berubah, nilai nominalnya harus  diganti? Jawabannya ada di mata uang negara lain: dollar Amerika Serikat  (AS).
Kalau melihat  nilai tukar rupiah dan dollar AS, memang angkanya sangat jomplang. Saat  ini, 1 dollar AS berharga sekitar Rp 9.700. Jangan heran, Indonesia pun  memiliki pecahan uang Rp 100.000, terbesar kedua di Asia Tenggara  setelah mata uang Vietnam, dong.
Karena itu, rupiah menjadi salah satu worst currency atau mata uang yang "jelek" di dunia. "Redenominasi diperlukan untuk  meningkatkan martabat rupiah," ungkap Diffi A Johansyah, juru bicara BI.
Rupiah terus merosot
Sebenarnya, dulu,  rupiah yang lahir tahun 1944 silam awalnya memiliki nilai yang nyaris  seimbang dengan dollar AS, yakni Rp 1,88 per dollar AS (lihat  infografis). Pada 7 Maret 1946, nilai rupiah pertama kali dikurangi.  Rupiah merosot hampir 30 persen jadi Rp 2,65 per dollar AS.
Tahun 1950,  Syafrudin Prawiranegara yang ketika itu menjabat menteri keuangan  melakukan pemotongan nilai rupiah alias sanering dari pecahan Rp 5 ke  atas sehingga nilainya tinggal separuh. Pada 25 Agustus 1959, pemerintah  kembali melakukan pemangkasan nilai rupiah.
Pada 1966, negara  kita mengalami inflasi yang sangat parah hingga 635,5 persen. Jangan  heran, pada 1971, nilai rupiah sudah mencapai Rp 415 per dollar AS.  Tahun 1978, lewat kebijakan Kenop 98, rupiah dipatok  Rp 625 per dollar  AS. Namun, tahun 1985, rupiah sudah menembus angka Rp 970 per dollar.
Pada krisis  moneter 1997-1998, nilai rupiah sempat anjlok ke posisi terendah, Rp  14.950 per dollar. Tahun 2001 dan 2009, rupiah juga sempat terjun ke  level Rp 11.000-an per dollar. Alhasil, setelah lewat 68 tahun, rupiah  sekarang ada di level Rp 9.700 per dollar AS.
Karena nilainya sudah merosot itulah, BI dan pemerintah ingin menegakkan nilai rupiah supaya tidak kelihatan memalukan lagi.
Adapun alasan  lain penyederhanaan adalah meningkatkan efisiensi dalam urusan  pencatatan keuangan. "Pecahan mata uang yang besar dan nol yang berderet  itu memang membuat praktik ekonomi tidak efisien," kata A Tony  Prasetiantono, pengamat ekonomi.
Budi Frensidy,  pengamat pasar modal dan pasar uang, menilai, redenominasi penting untuk  dilakukan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dana pihak  ketiga di perbankan nasional, dan kapitalisasi pasar saham Indonesia,  sekadar contoh, saat ini sudah dinyatakan dalam satuan ribuan triliun.  Menurutnya, untuk belasan miliar saja, kalkulator ilmiah dan kalkulator  finansial sudah tidak bisa menghitung karena hanya berdigit 10, apalagi  untuk triliunan.
Namun, mantan  Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli menganggap, argumentasi  efisiensi tidak jelas. Argumentasi agar rupiah kelihatan lebih gagah  juga sama sekali tidak tepat. "Istilah redenominasi juga membingungkan  rakyat biasa," ujarnya.
Menurut Rizal,  mestinya redenominasi dilakukan ketika suatu negara baru saja mengalami  inflasi yang sangat tinggi. Dalam kasus itu, redenominasi diperlukan  untuk stabilitasi ekonomi. Saat ini, inflasi terkendali. "Kok ujuk-ujuk  mau redenominasi?” imbuhnya.
Rizal  menambahkan, kebijakan redenominasi hanya bertujuan memberi kesan bahwa  mata uang rupiah kuat. Padahal, yang penting, bukan nilainya, melainkan  stabilitas nilai tukarnya. Negara seperti China bahkan membiarkan mata  uangnya melemah untuk memacu pertumbuhan industri di negerinya.
Nanti, seiring  kemajuan ekonomi, mata uang akan menguat sendiri seperti yen, sehingga  tidak perlu kebijakan yang bersifat artifisial seperti redenominasi.  "Redenominasi tidak ada urgensinya dan tidak bermanfaat," ujar Rizal.
Pro dan kontra seputar redenominasi memang merebak. Namun, pemerintah dan BI jalan terus dengan rencananya.
SUMBERhttp://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/02/04/1511000/Redenominasi.Hapus.Nol.demi.Gengsi
0 comments:
Post a Comment